Selasa, 10 Maret 2009

Ilmuwan Berazas Tauhid Tanpa Cacat

Rasulullah SAW menangis di suatu tengah malam sampai membasahi tanah setelah menerima wahyu surat Ali Imran ayat 190: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (ulil-albab)” . “…Sungguh, celakalah bagi orang yang membacanya kemudian tidak berfikir tentangnya...” demikian sabda Rasulullah menjawab keheranan dan pertanyaan Bilal Bin Rabbah yang ketika itu datang saat menjelang subuh.

Ayat berikutnya, ayat 191, menjelaskan kriteria yang termasuk dalam golongan ulil-albab ini. “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.

Cukup jelas ayat ini secara spesifik ditujukan pada golongan pemikir (ulil-albab) yang mampu mengkaji, meneliti, dan memahami proses kejadian alam semesta, serta pergantian siang dan malam, dan akhirnya, berdasarkan nilai-nilai tauhid yang diimaninya, menarik kesimpulan “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.

Tentu, ayat ini sebenarnya dimaksudkan berlaku umum kepada mereka yang tergolong ilmuwan, apapun bidangnya, tetapi dalam ayat ini diambil salah satu contoh ilmuwan yang berkecimpung dan menekuni bidang ilmu alam (natural science) dan teknologi.

Penyelidikan-penyelidikan tentang proses kejadian jagat raya dan isinya, termasuk bumi, memerlukan pengetahuan tingkat tinggi dan penelitian-penelitian di laboratorium. Informasi-informasi yang diberikan Allah dalam Al-Quran yang berkaitan dengan proses kejadian alam semesta dan pesan untuk menelitinya cukup banyak; di antaranya dapat dilihat pada surat-surat Yunus: 101, Al-Anbiya: 30, Adz-Zariyat: 47, Fushshilat: 11,12 dan 53, Al-Ghasyiyah: 17-20.

Apa yang merisaukan Rasulullah sehingga beliau menangis begitu pilu? Jawaban yang disampaikan Rasulullah kepada Bilal cukup jelas. Celakalah seseorang ilmuwan itu bila tak mampu menarik kesimpulan akhir dari hasil kajian dan penelitiannya, dalam bidang apapun, sama seperti kesimpulan yang digariskan oleh para ulil-albab itu. Kesimpulan yang mengakui secara mutlak keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan kerahiman Allah yang tak terukur. Kesimpulan yang sekaligus juga mengakui kekerdilan manusia, keterbatasan, ketidak-berdayaan, dan ketergantungannya yang mutlak kepada Sang Pencipta.

Tidak dapat tidak, kesimpulan seperti hanya bisa dimiliki oleh ilmuwan yang ketauhidannya tanpa cacat. Pengakuan ketergantungan dan ketundukan mutlak para ulil-albab ini selanjutnya bisa dilihat dalam do’a mereka yang termaktub dalam 3 ayat berikutnya, Ali Imran: 192-194.

Azas Tauhid Dalam Pendidikan

Wawasan ilmu, apapun bidangnya, belum dikatakan sebagai ilmu yang bermanfaat (‘ilman nafi’a) bila tidak dilandasi oleh nilai-nilai ketauhidan yang benar. Muhammad Natsir, diusia muda 29 tahun (1937) telah menyampaikan pikiran-pikiran cerdasnya dalam majalah Pedoman Masyarakat berjudul “Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan”. Dalam pandangan beliau, pendidikan tauhid kepada anak hendaklah diberikan seawal mungkin, selagi masih muda dan belum dibentuk, sebelum didahului oleh ideologi dan fahaman lain.

Seorang ilmuwan yang memiliki tauhid yang benar akan merasakan bagaimana potensi ilmu yang dimilikinya tak berarti apa-apa, begitu juga yang dimiliki oleh orang lain, bila dibandingkan dengan alam dan benda yang penuh misteri, apalagi terhadap ilmu Sang Penciptanya. Ilmu yang diperoleh adalah semata-mata pemberian Allah dan itupun sedikit sekali (Al-Isra’: 17).

Kemampuan akal yang disadari sangat terbatas dan karenanya rasionalitas yang dikembangkan juga diyakini sangat terbatas jangkauannya. Ia mampu menundukkan rasionalitas pemikirannya yang berkembang liar dalam memahami Al-Quran dan Hadist. Ilmuwan seperti inilah yang diharapkan sebagai cendekiawan muslim yang mampu memerankan dirinya sebagai benteng penjaga agama Allah, mampu memberikan pencerahan di tengah ummat, memperkuatnya, dan melahirkan gagasan cemerlang dan keteladanan dalam menggapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Satu hal yang penting disadari bahwa pengetahuan dasar ketauhidan dalam tataran konsep saja tidaklah cukup tetapi haruslah dibarengi dengan pengalaman “merasakan” keagungan, kebesaran, kerahiman, dan kemahakuasaan Allah.

Konsep tauhid harus diperkenalkan kepada setiap muslim sejak kecil dan berkelanjutan hingga akhir hayat. Semua peristiwa dan alam sekitar yang dilihat dan difikirkan haruslah dikaitkan dengan peran Allah sehingga dapat “merasakan” kebesaran, kerahiman, dan kekuasaan Allah sampai pada suatu tingkat suasana batin yang memiliki keyakinan mutlak padaNya.

Keyakinan mutlak bermakna bahwa Allah SWT yang Maha Esa adalah segala-segalanya sementara manusia adalah hamba yang tunduk mutlak pada kehendakNya, tidak berdaya sama sekali kecuali apa yang diberikanNya. Al-Quran diyakini sebagai pedoman mutlak yang membimbingnya dalam menyelesaikan seluruh aspek persoalan kehidupan. Rasio diposisikan sebagai sebuah potensi akal untuk memahami petunjuk-petunjuk Al-Quran dan Hadist yang berproses dalam jalur tauhid.

Tujuan Pendidikan Islam

Berangkat dari nilai ketauhidan inilah, sekurang-kurangnya ada empat objektif yang harus menyatu dalam setiap individu muslim (four in one) dalam menuntut ilmu. Pertama, untuk mengenal kebesaran Allah lebih dalam lagi yang terdefinisi dalam asma-ul husna. Kondisi ini memerlukan bekal pemahaman dasar ketauhidan dan keyakinan mutlak kepada Allah SWT yang menjadi benteng kokoh dari setiap konsep yang meragukanNya.

Pemahaman tauhid dalam tataran konsep tanpa keyakinan mutlak memungkinkan gagalnya seorang ilmuwan muslim mencapai objektif pertama ini. Ilmu yang berkembangpun menjadi liar tak terkendali. Barangkali, ini juga salah satu sebab mengapa sekarang ini bermunculan sarjana-sarjana muslim yang sangat mengagungkan potensi akal (rasionalisme), berfikiran aneh nyeleneh sampai berani menggugat Allah dan Rasulullah, mempertanyakan kesucian Al-Quran dan menafsirkannya sekehendak hati.

Kedua, untuk lebih memperdalam pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran dan Hadist serta pesan-pesan Allah dan Rasulullah. Semakin dalam ilmu dipelajari, semakin luas cakrawala berfikir, semakin kritis dan tajam daya nalar dan analisis menghadapi setiap masalah. Potensi keilmuwan yang dimiliki akan lebih memudahkan memahami informasi-informasi dan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist, baik langsung maupun melalui penjelasan-penjelasan yang diuraikan oleh para ulama.

Pemahaman tauhid yang benar akan mampu membedakan yang haq dan bathil, mampu menyaring informasi ilmu yang menyimpang dari aqidah dan ajaran Islam, mampu menyadari kemisteriusan alam, kemisteriusan sebuah benda, kemisteriusan partikel partikel yang menyusun benda, termasuk kemisteriusan tubuh dan organ yang menyusun tubuhnya sendiri.

Ketiga, menerapkan nilai-nilai Islam dalam keseharian hidupnya sebagai khalifah (vicegerence of Allah) sehingga mampu memposisikan dirinya sebagai rahmatul lil’alamin. Pemahaman tauhid yang benar akan menghasilkan ilmuwan yang beriman dan bertaqwa, membimbingnya ke tujuan penerapan ilmu ke arah yang bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan dan kemaslahatan manusia serta kelestarian alam. Ia menghindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat, terlebih-lebih lagi penerapan yang merusak dan mungkar.

Keempat, menyebarkan ajaran Islam (dakwah) ke seluruh manusia dengan cara-cara yang tepat dan bijaksana. Ilmuwan yang memiliki tauhid yang benar sangat potensial mengemban tugas dakwah seperti yang dihimbau dalam surat An-Nahl: 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Ia memiliki kefahaman yang dalam tentang sifat dan karakter manusia, tahu menempatkan diri dan mengerti bagaimana bersikap dan berbuat dengan ketegaran yang seharusnya dituntut dalam mengemban tugas dakwah. Insya Allah, peran besar ilmuwan seperti inilah yang memungkinkan ajaran Islam semakin luas berkembang menyinari dan mencerahkan manusia, membuka jalan kembali ke fitrahnya.

Sikap Pandang Terhadap Iptek

Ilmuwan yang bertauhid tanpa cacat yang memenuhi ke-empat objektif ini tentulah terbebas dari pengagungan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Kekagumannya terhadap perkembangan iptek adalah kekaguman yang sewajarnya dan manusiawi, tanpa berlebihan. Kemampuan manusia dalam mengembangkan iptek memiliki keterbatasan yang jelas dan dapat terukur.

Ia dapat melihat bagaimana lemahnya ilmu matematik dan fisika misalnya, dalam menyelesaikan persoalan kealaman dan teknologi. Ia juga dapat menyimpulkan, bila seorang ilmuwan jenius yang dianugerahi Allah umur panjang sampai dunia kiamat dan terus menerus melakukan penelitian tentang suatu bidang kajian yang spesifik, akan tetap tidak mampu mengungkapkan rahasia-rahasia kemisteriusan dalam bidang kajiannya tersebut.

Lalu bagaimana para ilmuwan (saintis) menyelesaikan permasalahan? Apapun bidang ilmunya, mereka hanya bisa menjawab masalah dengan pendekatan yang menggunakan idealisasi dan asumsi. Tanpa idealisasi dan asumsi, tak seorangpun ilmuwan mampu menjawab masalah yang dihadapi. Karenanya, jawaban antara satu ilmuwan dan ilmuwan lainnya terhadap suatu masalah akan berbeda-beda bila satu sama lain menggunakan idealisasi dan asumsi yang berbeda.

Dapat difahami, tak ada satupun penyelesaian masalah yang pasti benar, yang ada adalah penyelesaian yang dipandang sebagai sebuah kebenaran relatif karena telah mengikuti prosedur-prosedur ilmiah.

Ini juga menunjukkan bukti fenomena kemisteriusan alam karena banyak bagian-bagiannya yang tak bisa dikenali secara pasti, kemisteriusan makhluk ciptaan Allah. Tentulah Sang Penciptanya menjadi Sang Super Misterius. Fenomena makhlukNya saja tidak bisa dikenali atau diidentifikasi dengan pasti, apalagi Sang Penciptanya. Jangan kata hari esok, sampai dunia kiamatpun tak bakalan dikenal pasti.

Inilah kesimpulan ilmuwan yang bertauhid tanpa cacat dibawah bimbingan Al-Quran. Bisa difahami dan diyakini kelemahan dan keterbatasan manusia, dan karenanya, semestinyalah kita bisa menerima petunjuk Al-Quran yang mengarahkan pengenalan kepada Allah hanya melalui sifat-sifatNya saja (asmaul-husna).

Banyak orang mendewakan ilmu matematik misalnya, yang dianggap powerful untuk menyelesaikan persoalan kealaman (kauniyah). Padahal tidak begitu. Ilmu matematik hanya mampu menyelesaikan persoalan teknikal dan praktikal yang sederhana atau disederhanakan. Ilmu matematik tidak mampu menyelesaikan persoalan dengan kondisi batas yang rumit yang merupakan realitas alam dan kehidupan.

Itu sebabnya penyelesaian konsep matematik dalam masalah keinsinyuran (engineering) dilakukan dengan metode pendekatan yang salah satunya cukup populer dikenal dengan metoda elemen hingga.

Begitu juga halnya dengan fisika yang berkenaan dengan hukum thermodinamika tentang kekekalan energi dan massa. Hukum ini dianut oleh semua ilmuwan untuk menyelesaikan persoalan energi dan massa. Bila diterima secara mutlak, hukum ini jelas bertentangan dengan konsep tauhid karena mendefinisikan tidak ada energi atau massa yang bisa diciptakan atau ditiadakan, yang ada hanyalah transformasi dari satu bentuk ke bentuk lain. Berarti, Allah telah berhenti mencipta, dan tak kuasa meniadakan.

Bagaimana ilmuwan muslim menyikapinya? Ilmuwan yang bertauhid menerima hukum ini dengan sebuah catatan, tidak mutlak seperti lainnya. Dalam penerapannya, seorang ilmuwan muslim mengambil sikap bahwa penggunaan hukum ini digunakan merupakan sebuah idealisasi, atau asumsi, atau simplifikasi agar permasalahan bisa diselesaikan. Itu bedanya. Lalu, diyakini bahwa bila Allah berkehendak lain, apapun bisa terjadi.

Kenyataannya memang demikian. Ilmuwan hanya bisa mengukur energi yang dihasilkan saja dan memperkenalkan fenomena efisiensi, atau losses, untuk energi yang tidak bisa dimanfaatkan. Tak seorangpun mampu menjelaskan secara pasti kecuali dugaan-dugaan atas fenomena yang terjadi.

Kita semua cukup familiar dengan listrik dan magnet. Namun sampai saat ini tak satupun ilmuwan yang mampu menjelaskan tentang misteri aliran listrik dan magnet. Yang bisa dipelajari hanya fenomena dan akibat-akibatnya saja. Mungkinkah misteri ini bisa terungkap? Bisa saja, tapi keterungkapannya pasti akan memunculkan sebuah misteri baru lagi.

Lihat saja sejarah partikel benda terkecil. Ketika terungkap misteri bahwa atom merupakan partikel terkecil, lalu muncul misteri baru tentang atom itu sendiri. Terungkap lagi bahwa inti atom terdiri dari proton dan netron. Nah, proton dan netron inipun menjadi sebuah misteri baru lagi yang hingga kini belum terungkap jelas. Begitu juga kaitannya dengan misteri gelombang yang baru bisa difahami melalui fenomenanya saja.

Memang, sangat sedikit ilmu yang diberi Allah kepada manusia. Bisa difahami karena kemampuan manusia untuk menerima ilmu Allah juga sangat terbatas sekali. Sepatutnyalah semakin dalam ilmu ditekuni, semakin disadari kebesaran Allah Sang Pencipta dan kelemahan potensi akal manusia itu sendiri.

Rasionalitas Salah Kaprah.

Ummat Islam di Indonesia sejak empat dekade yang lalu hingga saat ini disibukkan dan dikacaukan oleh perkembangan pemikiran sebagian ilmuwan muslim yang aneh nyeleneh, yang sebagian mereka berasal dan berada di perguruan tinggi Islam (IAIN, UIN, STAIN/S).

Mereka ini sangat mendewakan akal dan berfahamkan liberal. Upaya penyebaran fahamnya ke masyarakat luas dilakukan secara sistematis melalui pendidikan di perguruan tinggi dimana mereka berada, melalui buku-buku dan internet, dan ada yang membentuk sebuah organisasi LSM yang mereka beri nama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang didanai oleh The Asia Foundation yang sangat berkepentingan memporak-porandakan aqidah ummat Islam sedunia.

Pemikiran mereka sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran orientalis Barat dan memang kebanyakan mereka menimba ilmu dari sana. Salah seorang pelopor perkembangan aliran pemikiran ini yang cukup menonjol dan berpengaruh adalah mendiang Dr.Harun Nasution, seorang profesor dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kembali ke Indonesia pada tahun 1963 setelah menyelesaikan doktornya di Universitas Mc.Gill Kanada.

Diakui sendiri oleh beliau bahwa ia adalah seorang rasionalis, penganut rasionalisme, yang mengutamakan kemampuan akalnya sendiri dalam memahami ajaran Islam, dan menggugat penafsiran klasik yang telah disepakati oleh ulama salafussaleh.

Dia mendidik banyak para mahasiswa pasca sarjana yang menuntut ilmu di IAIN Jakarta dan menanamkan bibit pemikiran rasionalismenya. Sebagian mahasiswanya yang telah bergelar master dan doktor berhasil dipengaruhi, mereka menyebar kemana-mana, dan yang kembali ke kampus asalnya sebagai dosen menyebarkan faham-faham rasionalisme di kampusnya.

Indonesia hari ini semakin diramaikan dengan para doktor dan profesor berfaham rasionalisme. Perkembangan pemikiran mereka semakin liar tak terkendali. Buah dari faham ini bisa kita lihat dari beredarnya buku-buku tentang pluralisme yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama, siapa saja berbuat kebajikan akan masuk syurga, apapun agamanya. Faham pluralisme ini dikembangkan oleh mendiang Nurcholis Majid, juga profesor dari IAIN Jakarta dan murid Dr. Harun Nasution.

Buah karya Dr. Harun Nasution lainnya yang lebih mengerikan adalah kemunculan para pewaris ideologinya, bergelar master dan doktor, yang meragukan kesucian Al-Quran yang mereka sebut sebagai produk budaya kaum Quraisy. Ada yang mempersoalkan keaslian Al-Quran, bahkan ada pula yang menyatakan secara terbuka bahwa bahwa Al-Quran tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Yang terakhir ini mengusulkan untuk merubah ayat dan menyesuaikannya dengan kebutuhan saat ini.

Mereka menggugat penafsiran klasik dan menawarkan sebuah metode penafsiran Al-Quran dengan mengadopsi metode penafsiran Bible (hermeneutika). Metode ini telah dikembangkan di beberapa IAIN dengan memasukkannya dalam kurikulum pelajaran.

Hermeneutika diadopsi oleh Kristen karena kesulitan menafsirkan Bible yang memiliki masalah keotentikan teks, bahasa, dan kandungannya. Metode penafsirannya cenderung semau gue yang tergantung pada pemahaman dan kehendak si penafsir yang tentu saja dibungkus dan berkesan seolah-olah bernilai ilmiah.

Padahal, Islam tidak menghadapi masalah seperti itu. Islam telah memiliki stándar tersendiri dalam penafsiran yang dikenal sebagai ilmu tafsir; Al-Quran ditafsirkan oleh Al-Quran itu sendiri beserta Hadist dan makna bahasa.

Ummat Islam Indonesia saat ini memang sedang mengalami ujian sangat berat, menghadapi pencemaran aqidah yang semakin serius dan memperihatinkan. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Barangkali, ini disebabkan kesalahan ummat Islam Indonesia sendiri yang kurang memahami tujuan pendidikan yang berlandaskan tauhid seperti diuraikan di Bagian 1. Atau, mungkinkah terserang wabah penyakit wahn? Bukankah kebanyakan ummat kita ini sangat rentan dengan penyakit ini?

Kebanyakan kita memang telah melakukan kekeliruan dalam mendidik anak yang tanpa disadari telah menanamkan faham bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memperoleh kesejahteraan hidup yang terukur dari kepemilikan harta.

Wallahu a’lam bishshab.

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
UKMKI FTP UNEJ KOSINIS TETA
Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Kelompok Studi Islam Lingkungan dan Sains Teknologi Pertanian
Lihat profil lengkapku

Buka Juga Blogs KOSINUSers di

Followers

Kosinusers yang Online

Jumlah Pengunjung

web counter
Web counter from website-hit-counters.com .
free counters

Blogger Template created by ABDUS SALAM MUBAROK